ibu.
Telepon
genggam di sebelahku kembali berdering.
Dengan nada keras dan getaran panjangnya cukup memberi tahuku bahwa itu itu
sebuah panggilan telepon tanpa harus melihat ke arah layar nya yang pastinya
sedang memunculkan nama sang penelpon. Dering ke empat, aku masih berdiam diri.
Memilih mendengarkan nada dan suara getar yang ditimbulkan dari gesekan logam
dengan lantai. Setelah dering ke lima,benda itu akhirnya diam. Ku angkat tangan
ku lagi dan mulai menengadah,melanjutkan berdoa yang tadi sempat terganggu.
Usai berdoa
kuraih telepon itu, ku lihat riwayat panggilan yang tadi menggangguku.
“ARUM”
display layar memunculkan nama itu. Hatiku terhenyak, dengan cepat menyentuh
gambar telepon berwarna hijau pada layar touchscreen di depan mataku.
Panggilan tersambung
setelah beberapa detik aku menunggu.
“Assalamualaikum
Rum, ada apa? Kok jam jam sholat nelpon. Tadi ibu masih sholat, jadi yo gak
bisa angkat teleponmu. Dah, sekarang ada apa?”
Tidak ada
jawaban dari rentetan pertanyaanku. Yang aku dengar malah suara tangis. Kulihat
layar telpon genggamku,dank u aktifkan mode loudspeaker untuk memperjkelas
pendengaranku. Dan suara tangis itu semakin jelas asalnya.
Aku menahan
napas. Sambungan telpon ini berisi suara
tangis sedih dari anak keduaku.
Duh gusti, ada apa.
“Loh, kok
malah nangis tho Rum. Ada apa? Ibu khawatir loh kalo kamu cuman nangis gitu.
Ayo ngomong sama ibu ada apa? “ aku was – was menunggu jawaban nya. Suara tangisnya
terdengar begitu sendu. Sedu sedan dan bagaimana anak ku menahan agar suara tangisnya
tak membesar terdengar jelas melalui sambungan telepon ini. Yang tanpa komando
langsung menghantarkan ribuan keping pilu di hatiku.
“Ada apa
tho,Rum? Kalo kamu diam saja ibu malah bingun dan khawatir.”
Satu menit
berselang, masih hanya suara tangis yang terdengar dari sambungan telpon ini.
Aku memutuskan menunggu.
“ Ya udah
ndak papa, Arum nangis dulu Ibu tunggu. “
“Arum
kalah, Bu.” Jawabnya terbata,lirih,dan sedih. Kembali membuat hatiku perih.
Satu hari
yang lalu,anakku meminta ijin untuk mengikuti perlombaan olahraga. Mewakili
universitas tempat ia belajar. Olahraga itu adalah hobi,kesukaan, kesibukan,
dan cita cita anakku dua tahun belakangan. Dan kali ini, lima kali sudah
tepatnya anakku mencoba peruntungan dalam perlombaan. Lima kali sudah aku melepas kepergiaan dia ke
beberapa kota. Lima kali sudah anakku berusaha keras untuk menang.
“Yo gak
papa thoh Arum. Kan kamu sudah tau kalo lomba ada menang ada kalah. Yo gak
papa. Wong sudah berusaha yang terbaik thoh. Ibu tahu kok Arum sudah maksimal.”
Jawabku mantap,berharap energy ku sampai padanya dan membuatnya lebih kuat.
“Aku gagal
Bu,” tangisnya makin keras. Dingin
meresap keseluruh kulit badanku.
Membuat ku merasa kedinginan sehangat apapun tempatku duduk sekarang.
Kamu kuat,Nak
“Weeee
siapa bilang kamu gagal nak, kamu tuh hebat kok, belom waktunya saja. Wis,
sekarang ambil air wudhu biar tenang. Gak baik nangis lama lama. Ngerti Rum?”
“Maaf ya
Bu, ndak pernah ngasih kebanggan buat Ibu Bapak.” Kalimat tersebut di susul
bunyi tuuuuuut….tuuuuuut….tuuut. Tanda sambungan telepon kami sudah di akhiri.
Mulutku membuka, terhenti saat akan menjawab kalimat putriku tadi. Aku
tersenyum. Berbisik lirih pada angin.
Kamu selalu membanggakan Rum. Ibu tahu.
#ujicoba
Nice try kak :)
BalasHapuswah cial. kukira manusia mana yg komen blog buluk ku :D but thankyouuuu
BalasHapus